Mutual deterrence. Saling bertahan. Nampaknya inilah yang
sedang berlangsung di Jalur Gaza sesudah jatuh 19 korban di pihak
Palestina karena serangan brutal Zionis sejak Kamis 7 April lalu.
Sesudah melancarkan berpuluh-puluh kali serangan udara serta pembunuhan di mana-mana, pada hari Ahad 10 April, pihak Zionis berhenti menyerang. Meskipun sempat mengadakan provokasi seperti mengirimkan pesawat-pesawat tempurnya untuk terbang rendah di atas Gaza.
Demikian pula, hari Ahad itu ditandai dengan dikirimnya 10 mortir dan satu roket dari Gaza ke arah Palestina yang dijajah Zionis itu – jumlah yang jauh lebih sedikit daripada hari Sabtu ketika para Mujahidin Gaza mengirimkan puluhan mortir dan roket.
Saling Ancam
Saling ancam masih terjadi.
‘Perdana menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu menggertak, pihaknya tidak akan segan-segan melancarkan balasan yang sangat keras kalau para pejuang Palestina masih terus menyerang.
Para pejabat kabinet Zionis silih berganti mengeluarkan kata-kata ancaman terhadap pihak pejuang Palestina, termasuk bahwa Tel Aviv menolak tawaran gencatan senjata dari Hamas dan memilih untuk terus membabat ‘terorisme’ Palestina serta menjatuhkan Hamas.
Di lain pihak, Hamas menyatakan mereka akan menghormati gencatan senjata kalau memang itu yang disepakati, namun tidak akan pernah menyerah.
Sementara itu, sayap militer Hamas, Brigade Izzuddin Al-Qassam bersikeras tidak akan pernah menerima perdamaian kalau pihak Zionis masih melanjutkan agresinya.
Berbagai faksi perjuangan kemerdekaan yang ada Gaza, termasuk Jihad Islam dan sebuah kelompok lain yang baru muncul yaitu Brigade Abdullah Azzam, juga sudah menunjukkan tekad mereka untuk berjuang terus.
Saling Bertahan
Namun secara umum, kedua belah pihak telah memulai sikap defensif – bukan lagi offensive.
Pihak Zionis, misalnya, menghentikan serangan udaranya dan ‘mempekerjakan’ Iron Dome’ – sistem penangkal rudalnya yang beberapa kali berhasil meng-intercept (menangkal) kiriman roket dan mortir dari arah Gaza.
Namun situasi bertahan tanpa gencatan senjata resmi ini agaknya berangkat dari kenyataan bahwa kedua belah pihak sebenarnya mampu menimpakan kerusakan yang sangat besar kepada satu sama lain.
Menurut sejumlah analisis, Zionis mampu menggempur dan menguasai kembali Gaza kalau memang itu yang diinginkan, karena besarnya kekuatan persenjataannya.
Sebaliknya, dikabarkan bahwa Hamas pun memiliki roket-roket yang bahkan bisa mencapai Tel Aviv.
Namun yang lebih penting daripada roket-roketnya, berbagai faksi perjuangan yang ada di dalam Palestina masih memiliki tujuan yang sama: kemerdekaan Masjidil Aqsha dan Palestina.
Kalau pun ada perbedaan sikap di sana-sini, maka para pejuang dari berbagai kelompok Mujahidin itu masih terikat oleh cita-cita yang sama: Jihad, dan bukannya sekedar negosiasi damai yang sudah terbukti berulangkali dikhianati.
Kalau baik Hamas maupun penjajah Zionis memutuskan untuk perang all-out, maka akan sangat besarlah kehancuran dan kerusakan yang terjadi di kedua belah pihak.
Bedanya, bagi para pejuang itu, kerusakan dalam arti hancurnya tubuh mereka tidaklah mereka takuti. Sementara para pemimpin Zionis itu takut mati.
Mobilisasi Arab
Pejabat hubungan internasional Hamas, Usamah Hamdan, telah memperingatkan, pihak Zionis akan menghadapi konsekuensi serius kalau sampai melancarkan perang baru terhadap Jalur Gaza yaitu mobilisasi dunia Arab menentang ‘Israel.’
Pemerintahan penjajah yang sekarang ini semakin merosot citranya – sebagaimana terlihat dari membesarnya dukungan politis berbagai negara terhadap pendirian negara Palestina merdeka – dan tahu bahwa kalau pilihan perang all-out yang dipilihnya, maka isolasi dunia terhadap dirinya akan semakin memburuk.
“Salah satu alasan mengapa ‘Israel’ meningkatkan ofensifnya terhadap Jalur Gaza adalah karena dia semakin takut melihat berbagai perubahan yang terjadi di kawasan ini. ‘Israel’ sudah kehilangan lingkungan aman sentosa yang selama ini menopang eksistensinya,” demikian Hamdan.
Semua perubahan politis yang terjadi di Timur Tengah ini bertepatan waktunya dengan semakin menguatnya gerakan perlawanan.
Sebagaimana diketahui, sejumlah negara yang selama ini bersahabat dengan ‘Israel’ mulai menunjukkan sikap kritisnya, terutama Turki dan Mesir.
Sejumlah tokoh Mesir, termasuk menteri luar negeri Nabil Al-Arabi, sudah menegaskan bahwa negaranya tidak akan tinggal diam bila Zionis melanjutkan agresinya.
Ditambah lagi dengan perkembangan cepat dukungan dunia terhadap berdirinya negara Palestina, penjajah Zionis harus berpikir keras sebelum melancarkan lagi agresi seperti yang pernah dilakukannya lewat Operation Cast Lead pada pergantian tahun 2008-2009.
Sesudah melancarkan berpuluh-puluh kali serangan udara serta pembunuhan di mana-mana, pada hari Ahad 10 April, pihak Zionis berhenti menyerang. Meskipun sempat mengadakan provokasi seperti mengirimkan pesawat-pesawat tempurnya untuk terbang rendah di atas Gaza.
Demikian pula, hari Ahad itu ditandai dengan dikirimnya 10 mortir dan satu roket dari Gaza ke arah Palestina yang dijajah Zionis itu – jumlah yang jauh lebih sedikit daripada hari Sabtu ketika para Mujahidin Gaza mengirimkan puluhan mortir dan roket.
Saling Ancam
Saling ancam masih terjadi.
‘Perdana menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu menggertak, pihaknya tidak akan segan-segan melancarkan balasan yang sangat keras kalau para pejuang Palestina masih terus menyerang.
Para pejabat kabinet Zionis silih berganti mengeluarkan kata-kata ancaman terhadap pihak pejuang Palestina, termasuk bahwa Tel Aviv menolak tawaran gencatan senjata dari Hamas dan memilih untuk terus membabat ‘terorisme’ Palestina serta menjatuhkan Hamas.
Di lain pihak, Hamas menyatakan mereka akan menghormati gencatan senjata kalau memang itu yang disepakati, namun tidak akan pernah menyerah.
Sementara itu, sayap militer Hamas, Brigade Izzuddin Al-Qassam bersikeras tidak akan pernah menerima perdamaian kalau pihak Zionis masih melanjutkan agresinya.
Berbagai faksi perjuangan kemerdekaan yang ada Gaza, termasuk Jihad Islam dan sebuah kelompok lain yang baru muncul yaitu Brigade Abdullah Azzam, juga sudah menunjukkan tekad mereka untuk berjuang terus.
Saling Bertahan
Namun secara umum, kedua belah pihak telah memulai sikap defensif – bukan lagi offensive.
Pihak Zionis, misalnya, menghentikan serangan udaranya dan ‘mempekerjakan’ Iron Dome’ – sistem penangkal rudalnya yang beberapa kali berhasil meng-intercept (menangkal) kiriman roket dan mortir dari arah Gaza.
Namun situasi bertahan tanpa gencatan senjata resmi ini agaknya berangkat dari kenyataan bahwa kedua belah pihak sebenarnya mampu menimpakan kerusakan yang sangat besar kepada satu sama lain.
Menurut sejumlah analisis, Zionis mampu menggempur dan menguasai kembali Gaza kalau memang itu yang diinginkan, karena besarnya kekuatan persenjataannya.
Sebaliknya, dikabarkan bahwa Hamas pun memiliki roket-roket yang bahkan bisa mencapai Tel Aviv.
Namun yang lebih penting daripada roket-roketnya, berbagai faksi perjuangan yang ada di dalam Palestina masih memiliki tujuan yang sama: kemerdekaan Masjidil Aqsha dan Palestina.
Kalau pun ada perbedaan sikap di sana-sini, maka para pejuang dari berbagai kelompok Mujahidin itu masih terikat oleh cita-cita yang sama: Jihad, dan bukannya sekedar negosiasi damai yang sudah terbukti berulangkali dikhianati.
Kalau baik Hamas maupun penjajah Zionis memutuskan untuk perang all-out, maka akan sangat besarlah kehancuran dan kerusakan yang terjadi di kedua belah pihak.
Bedanya, bagi para pejuang itu, kerusakan dalam arti hancurnya tubuh mereka tidaklah mereka takuti. Sementara para pemimpin Zionis itu takut mati.
Mobilisasi Arab
Pejabat hubungan internasional Hamas, Usamah Hamdan, telah memperingatkan, pihak Zionis akan menghadapi konsekuensi serius kalau sampai melancarkan perang baru terhadap Jalur Gaza yaitu mobilisasi dunia Arab menentang ‘Israel.’
Pemerintahan penjajah yang sekarang ini semakin merosot citranya – sebagaimana terlihat dari membesarnya dukungan politis berbagai negara terhadap pendirian negara Palestina merdeka – dan tahu bahwa kalau pilihan perang all-out yang dipilihnya, maka isolasi dunia terhadap dirinya akan semakin memburuk.
“Salah satu alasan mengapa ‘Israel’ meningkatkan ofensifnya terhadap Jalur Gaza adalah karena dia semakin takut melihat berbagai perubahan yang terjadi di kawasan ini. ‘Israel’ sudah kehilangan lingkungan aman sentosa yang selama ini menopang eksistensinya,” demikian Hamdan.
Semua perubahan politis yang terjadi di Timur Tengah ini bertepatan waktunya dengan semakin menguatnya gerakan perlawanan.
Sebagaimana diketahui, sejumlah negara yang selama ini bersahabat dengan ‘Israel’ mulai menunjukkan sikap kritisnya, terutama Turki dan Mesir.
Sejumlah tokoh Mesir, termasuk menteri luar negeri Nabil Al-Arabi, sudah menegaskan bahwa negaranya tidak akan tinggal diam bila Zionis melanjutkan agresinya.
Ditambah lagi dengan perkembangan cepat dukungan dunia terhadap berdirinya negara Palestina, penjajah Zionis harus berpikir keras sebelum melancarkan lagi agresi seperti yang pernah dilakukannya lewat Operation Cast Lead pada pergantian tahun 2008-2009.
0 komentar:
Posting Komentar